Rabu, 13 Juni 2012

Putus Nyambung



Malam ini Surabaya diguyur hujan lagi. Lagi?? Ya, lagi. Sudah beberapa hari terakhir ini memang kota yang berlambang buaya dan hiu ini dihadiahi hujan oleh Gusti. Kalau manusia pikir memang aneh, karena ini kan memang sudah masuk musim kemarau, tapi kan terserah Yang Punya hujan juga to. Kita sebagai makhluk cukup bersyukur ajja. Hohoo..

Sembari mengambil Eji (sapaan akrab untuk noki` cerdas E71 ku) keakungan, mata tertuju pada pakaian yang kemarin aku cuci dan sekarang sudah kering. Maksud hati sih pengennya menyetrika lantas menatanya di almari agar kelihatan rapi dan wangi tentunya [biar klo dipake g malu-maluin..wkwk].


Tapi sepertinya berat kalau melakukannya, apalagi kan sekarang hujan. Dan saat hujan seperti ini kan enaknya duduk santai, ngobrol dan menyantap makanan kecil serta minuman hangat. Tentunya tak lupa harus ada cigarette alias rokok (untuk pembaca dibawah umur dilarang menirukan adegan yang terakhir ini ya?? hehe) karena memang aku perokok aktif saat ini.

***

‘’Bullllllll,,,,wuussssssyyyyy’’, nikmatnya rokok ini, pas berpadu dengan teh hangat dan gorengan ‘aneh’ khas Surabaya, ote-ote. [klo di Jawa Tengah namanya bakwan].

$0A
Saat sedang nikmat-nikmatnya jebal-jebul dengan rokok, tiba-tiba pikiran melayang flashback kepada perjalanan hidup sehingga bisa mengenal barang yang nikmatnya saat dibakar ini.



Mau ngga’ aku critain??? Mau yaaa..gratiss kokk,,, tapi jangan molor lhoooo,,,,hohooo

Aku mengenal rokok memang semenjak usia masih sangat belia (belia itu aktris lama, Meriam Belia,,haha,,ngacooo,,lanjuut). Di usia-usia segitu harusnya aku seperti anak-anak lain yang ngemut permen, bukan rokok. Namun, mungkin karena beberapa faktor juga akhirnya aku kenal dan berhubungan erat dengan tembakau yang diracik tersebut.

Awal mulanya bagaimana aku juga sedikit lupa, tapi yang jelas kuingat adalah ketika almarhum simbah (Tarom, namanya) berkunjung ke gubugku untuk sekedar silaturrahmi atau nyambangi anak, mantu dan cucunya yang manis, ganteng dan imut (tentunya aku doong, narsis mode on). Karena simbah itu juga seorang perokok aktif, maka setiap kemanapun beliau pergi, tak pernah di dalam sakunya selalu membawa rokok. Aku ingat betul yang selalu dibawanya adalah BENTOEL. Ya,,bungkusnya yang berwarna biru tua itu pernah menjadi sangat istimewa pada saat itu, ditambah dengan racikan dan aromanya yang mantabbbb, semakin membuat para perokok serasa memiliki sesuatu yang spesial.

Setelah simbah duduk dan ngobrol sama simbok/mak’e (ibu, mom, ummi), aku lantas datang dan bersalaman. Lalu aku lama-lama mendekap di pangkuan ibu sembari merengek minta sesuatu. Ibu menanyakan apa yang aku inginkan, namun tidak serta merta aku menjawabnya. Aku hanya memainkan jari telunjukku, kugoyang-goyangkan dan tertujulah pada sebuah benda. Apa itu?? Yaa,,,rokok, benar sekali. Awalnya memang tidak diperbolehkan, namun sepertinya tidak sampai keluar nada larangan yang keras. Mungkin dalam hati simbah berkata “yowes benlah, cah lanang kok, cilikanku biyen yo podo, pakne yo podo’’. Kok aku sampai tahu?? Ya karena pada suatu waktu aku pernah mendengarnya.

Simbah memberiku sebatang Bentoel, hatiku pun girang tiada terkira. Lantas aku ke dapur mencari korek jress [istilah untuk korek kayu] di sebelah pawon [tungku yang terbuat dari tanah liat, maklum masih ndeso], kunyalakan rokok itu lalu aku lari keluar rumah sambil lenggak-lenggok bergaya. Aku menuju pohon jambu yang ada di depan rumah, mamanjat dan duduk di cabang kayu yang cukup mampu menyangga tubuh mungilku seraya kugoyang-goyangkan. Sungguh nikmat rasanya saat itu menurutku, tapi cara merokoknya hanya sebatas diemut gabusnya [karena kan filter itu manis], kusedot dan langsung kukeluarkan asapnya.

Lama-kelamaan aku sepertinya makin kecanduan dengan rokok, lantas aku juga ingat kalau ibu pernah membelikanku rokok. Tak tanggung-tanggung, saat itu aku dibelikan setengah bungkus rokok Gudang Garam. Seingatku aku dibelikan itu karena sebagai iming-iming agar aku yang sejak pagi merengek mau ikut ibu ke pasar. Lalu ibu berjanji sepulang nanti akan dibelikan rokok. [Gak habis pikir juga ya kok sampai dibelikan. Memang ibu yang baik,,lhoohhhh]. Tapi aktivitas merokok dan ibu yang membelikan rokok ini terjadi saat Bapak tidak berada di rumah, kalau beliau dirumah bisa-bisa digantung dan ditendang samapai kandang orang aku.

Saat itu memang Bapak sedang berada di luar pulau, di Irian yang saat ini kita kenal dengan Papua. Ngapain jauh-jauh sampai ke pulau mutiara hitam itu?? Jalan-jalan?? Liburan?? Penelitian?? Tugas negara?? Bukan semuanya. Tapi kalau tugas dari Tuhan sebagai laki-laki sejati, menjadi suami yang bertanggung jawab terhadap istri dan ayah yang mencintai anak-anaknya, itu benar. Bapak memang merantau ke pulau yang dikenal penduduknya berkulit hitam manis itu untuk glidhik mencari nafkah buat keluargaku –salut deh buat bapak, makasih yaaaa..muachhh-.

Namun ketika bapak di rumah, aku sama sekali tak pernah menyentuh barang itu dan ibuku juga tak lagi membelikan. Kenapa?? Pasti takut lahhhh,,,bukan hanya merokok, ngaji, sekolah diniyyah, ke masjid dan sholat jum’atpun jalan kembali kalau bapak ada di rumah. Pokoke seolah-olah semua karena bapak, sampai-sampai kalau aku melakukan hal-hal yang menurut ibuku tak benar, selalu beliau bilang “ngko diseneni Pakmu, lho..!!”, dan akupun pasti takut dengan warning itu.

Jadi kejadian seperti yang sudah aku jelaskan di atas, berlangsung kira-kira saat aku masih duduk di bangku TK sampai SD kelas 1, 2 atau 3. Dan parahnya, ketika aku tak mendapatkan rokok, lantas aku pergi ke rumah tetanggaku dan bersama-sama dia mencari puntung yang sudah dihisap oleh simbahnya. Kalau tidak, aku dan Narno (tetanggaku itu) mengendap-endap mengambil tembakau dan bumbu-bumbunya dan meraciknya sendiri tanpa sepengetahuan mbah Cokro [simbanya yang juga mbah buyutku, sampai sekarang masih sehat, padahal kelahiran 1920an, namun masih kuat mencangkul dan menggembalakan kambing]. Namun kalau memang sudah sangat terpaksa, kami ke kebun untuk mencari akar dan batang umbi yang merambat, lalu menyalakannya, dan menikmatinya di atas pohon sirsak sebelah jalan sambil teriak-teriak kaya anak ‘gila’.

Lambat laun seiring bertambahnya usia, aktifitas merokok mulai berkurang. Selain itu aku sudah mulai merasakan ada efek yang kurang bagus untuk kesehatanku dan aku juga sering melihat simbah batuk-batuk akibat merokok. Jadi kami [aku dan rokok] putus hubungan.

Akung seribu akung, sekitar pertengahan kelas 5 SD yang saat itu aku kelas 4 Madrasah Diniyyah, aku mendapat lingkungan dan teman yang kurang ‘baik’ lagi. Mereka suka merokok dan bolos sekolah. Lambat laun aku ketularan dan hubunganku dengan rokok nyambung lagi. Hal ini berlangsung cukup lama, sampai-sampai aku berani berbohong kepada ibuku saat hendak berangkat sekolah Diniyyah, aku selalu minta uang dengan alasan beli alat tulis, jajanan, Hansaplast dan lainnya. Namun aku malah membelikannya rokok. Aku ingat saat itu aku selalu beli Inter Biru, karena rasanya tak jauh beda dengan Bentoel tadi. Dan harganya sangat murah, waktu itu aku bawa Rp 150,- sudah mendapatkan 2 batang rokok. Dan 2 batang itu sudah bisa buat joinan sama teman-temanku.

Lama-lama aku merasa malu kalau harus selalu minta uang saku dan harus selalu mencari alasan ini itu, padahal untuk membeli rokok. Kemudian aksi nakalku semakin menjadi, aku berani membuka dan mencari uang di lemari bapak atau ibu. Tapi masih lumayan, aku hanya mengambil recehan dan seperlunya saja. [seperti itu masih pede bilang lumayan ya??? Tak tau maluu].

Merokokku semakin menjadi saat aku naik kelas 5 Madrasah Diniyyah. Kenapa?? Karena kalau sudah kelas 5, itu artinya jam belajarnya masuk malam, setelah maghrib sampai sekitar jam 8an. Bukankah itu merupakan saat yang sangat tepat untuk melakukan berbagai macam ‘kejahatan’ kan?? Selain gelap dan kurang terlihat, kita kan jadinya kurang begitu dikenali. Nah, tragedi dimulai di sini, pada suatu hari saat kami sedang ‘berpesta rokok’, tiba-tiba ada dari salah satu guru kami yang masih muda melihat kelakuan kami, lantas dengan senter kerennya dia menyorot kami satu persatu. Kami pun glagepan dan akhirnya kocar-kacir. Tapi yang paling lama mendapatkan sorotan itu adalah aku, karena dipikir orang macam aku tak akan melakukan perbuatan kurang terpuji semacam itu. [hahaa pede manehhh].

Akhirnya, kejadian itu dilaporkan kepada Bapak-Simak, otomatis mereka lumayan naik darah karena dirasa sudah bikin malu. Aku pun diharuskan berhenti sekolah Diniyyah, tapi diganti dengan ngaji sendiri ke Mbah Basri [tokoh pandai ilmu agama di desaku] setiap sore kecuali hari kamis, karena aku hari itu aku harus sowan simbah di kramatan [istilah Jawa yang artinya makam].

Sejak itu, aku bisa putus lagi dengan rokok sampai kelulusan Sekolah Dasar. Dan akupun serius untuk mencari sekolah lanjutan untuk tingkat pertama. Lalu diputuskan agar aku melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyyah Negri. Padahal saat itu aku mau ke SMP saja, lalu melanjutkan ke SMA atau STM karena sejak kecil aku suka utak-atik barang-barang elektronik, sampai-sampai aku bisa membuat beberapa mainan sendiri disaat anak-anak lain membelinya [mungkin bukan karena hebat, tapi karena keadaan yang tidak mencukupi, jadi harus kreatif menurutku].



***

Singkat kisahnya, aku masuk Madrasah Tsanawiyyah Negri itu sesuai pilihan orang tua yang akhirnya menjadi pilihanku juga setelah mendapatkan banyak penjelsan dari orang tua dan mbak-mbak serta masku.

Berhubung sekolahan itu agak jauh dari rumah, dan lagi bapak tidak suka kalau melihat anak-anak lain pulang pergi sekolah berjubel dalam mobil atau bis angkutan umum seperti itu serta kalau sudah lelah sampai rumah, maka inisiatifnya aku harus mondok.

‘’Hahhhh??Mondok??’’ teriakku di depan seluruh keluarga. Aku berpikir, bapak dulu juga mondok, mbak-mbak dan m`sku juga sudah mondok semua, masa aku juga harus mondok?? Mbok ya ada yang beda, biar menjadi variasi. Ada yang fokus ilmu agama, tapi juga ada yang di umum.

Lagi-lagi karena aku dirasa masih anak kemarin sore yang masih ingusan, pendapatku pun terpatahkan.

Sekali lagi aku harus taat pada keinginan orang tua [setidaknya birrul walidain kali ya] dengan mengiyakan untuk mondok. Namun, agak sedikit melegakan ketika aku tahu bahwa mondokku bukan seperti mondok-mondok yang aku bayangkan, melulu harus tidur di kamar bareng-bareng orang banyak dan datang dari berbagai etnis. Orangtuaku mengantar dan menitipkanku di tempat ‘’Mbah Nus’’ yang memang rumahnya disamping pondok. Dan beliau juga merupakan salah satu sesepuh pondok tersebut karena masih menjadi bagian dari anggota keluarga ndalem. Meskipun demikian aku tetap harus mengikuti pendidikan dan sebagian kegiatan di pondok, tapi masih ada sisi enaknya yakni tidak sepenuhnya aku berstatus sebagai santri disana.

Alhasil, akupun tak terlalu merasa terkekang. Kapan aku harus ngaji, ya berangkat. Kapan harus bolos untuk sekedar molor siang atau ikut kang-kang pondok masak sambel bancik [sambal cabai segar dikasih tomat, dicampur parutan kelapa, ditaruh di dalam belanga, lalu dimasuki batu yang menganga setelah dibakar dan kemudian ditutup. Aromanya mantabb.] dan mungkin juga berpetualang menyusuri sepanjang aliran Sungai Serang sekedar untuk berenang dan mencari ikan.

Dengan begitu, hubunganku dengan orang-orang menjadi semakin akrab, tak terkecuali dengan para santri yang usianya lebih tua dariku. Saking akrabnya, akhirnya aku jadi jarang tidur di tempat Pak Dhe [Mbah Nus, red]. Setiap malam aku selalu mengunjungi kamar teman-teman akrabku di pondok. Namanya juga orang banyak, aktivitas merekapun berbeda-beda pula. Ada yang belajar, tidur dan berbincang sambil menghisap rokok.

Nah, dari situ, selama ini aku yang telah putus hubungan dengan rokok, akhirnya nyambung lagi dikarenakan ajakan dan olok-olokan mereka. ‘’Cah lanang kok ora udud,, wagu tur saru to yaaa...’’, itulah kalimat yang sering dilontarkan kepadaku. Karena merasa sedikit emosi dan geram, akupun menerima pemberian rokok dari mereka. Sekali dua kali, lama-lama itu menjadi kebiasaan lagi setelah sempat beberapa waktu terhenti. Lingkungan memang sangat mempengaruhiku, sementara aku belum mampu membentengi diriku sendiri.

Hal itu berlangsung cukup lama, sampai pada saat mereka lulus dari sekolah dan meninggalkan pondok. Dan akupun sedikit demi sedikit juga berkurang dalam merokok, dikarenakan aku juga naik kelas 2 dan mendapatkan teman-teman baru serta lingkungan baru juga. Selama kurun waktu setahun, yaitu sejak kelas 2 sampai naik kelas 3 MTs itu, seingatku aku sangat jarang sekali merokok, bahkan bisa dipastikan hampir tidak sama sekali. Berarti aku putus hubungan lagi dengan rokok.

Setelah duduk di bangku kelas 3, teman baru dan suasana baru mampu membuatku bersemangat dalam menjalani proses menuntut ilmu dan mengeksplorasi kemampuan dan ketrampilanku. Akan tetapi, di pertengahan tahun terakhir ini, lagi-lagi barang [rokok] yang kurang lebih setahun setengah aku tinggalkan kembali lagi masuk dalam kehidupanku, namun dari arah yang berbeda. Akupun sempat ketahuan karena hal itu, lantas karena untuk bisa mulus dalam kelulusan bukan hanya dibutuhkan nilai yang bagus, tapi juga nilai perilaku yang baik, aku berupaya untuk menguranginya. Ditambah lagi aku yang nantinya berkeinginan untuk melanjutkan studi ke salah satu sekolahan ternama di kota Surakarta yang notabene disana merokok merupakan pelanggaran keras, dengan gigih aku berupaya berhenti [meskipun saat sepulang mendaftar, saat itu naik angkutan kota orange 06, aku sempat merokok,,hehe].

Singkatnya, 3 tahun belajar Madrasah Aliyah di Solo yang tinggalnya di asrama, aku bisa sama sekali tak merokok, karena memang peraturannya sangat ketat. Kalau sampai ketahuan merokok, bisa-bisa bogem dari keamanan melayang di sekujur tubuhku dan aku mendapatkan cukur cukur rambut gratis yang modelnya sama sekali tidak pernah dipampangkan di salon-salon potong rambut ataupun seluruh majalah fashion.

Selulusnya dari Madrasah Aliyah, aku melanjutkan kuliyah di salah satu institut islam di Kota Pahlawan, Surabaya. Berhubung sudah menjadi mahasiswa dan tinggalku di ma’had, lingkunganpun makin variatif. Seringkali setelah bercapek-capek ria, lalu kami bareng-bareng menyantap masakan kami juga, setelah itu dilanjutkan dengan menghisap rokok. Sebagian besar dari kami memang merokok, tak terkecuali aku yang juga mulai merokok lagi. Tapi, waktu itu aku tak berani merokok didepan teman-teman, bukan karena alasan malu, sungkan atau jaim (jaga image), namun karena alasan aku masih ada niatan untuk berhebti dari merokok. Takutku ketika mengetahui aku juga seorang perokok, mereka sejak awal mengenalku sebagai seorang yang merokok, dengan begitu akan semakin sulit untuk benar-benar berhenti dari rokok.

Kurang lebih selama 1 sampai 2 tahun, aku merokok dengan cara diam-diam. Dan tiba pada saat aku menjadi panitia pelaksana salah satu agenda UKM Kebahasaan dikampus yang saat itu dilaksanakan di Prigen, Pandaan, aku dan beberapa kawan ngobrol asyik sambil merokok, karena memang suasana yang cukup dingin dibandingkan dengan Surabaya. Hingga pada hari kedua, aku mendapatkan tugas untuk mengambil konsumsi [nasi bungkus] untuk makan malam para peserta. Aku pergi bareng Novan, mengendarai motor Honda Megapro hitam. Aku membonceng sementara Novan yang menyetir. Sebelumnya aku belum tahu kemana harus mengambilnya, lalu panitia yang lain memberitahuku kalau kami harus mengambilnya di saerah Sidoarjo. ‘’gilaaa,,,kok bisa pesen disana sihh?? Kan jaraknya kurang lebih sejam perjalanan..’’, gumamku dalam hati.

Kurang lebih jam 3 sore, kamipun berangkat ke TKP. Perjalanan menurutku lancar karena cuaca saat itu lumayan cerah meskipun sedang musim hujan. Namun tiba-tiba ditengah perjalanan aku merasa ada yang aneh, yaitu ketika Novan sedikit kesulitan menghandle motor itu dikarenakan ada bagian yang kurang beres. Alhamdulillahnya, kami sampai di tempat pemesanan setelah sekitar sejam. Kurang beruntungnya, sesampainya disana nasi yang katanya sudah siap ternyata belum siap. Mau tidak mau kamipun harus menunggu sampai menjelang maghrib.

Novan asyik ngobrol dengan seniornya, sementara aku keluar untuk mencari warung atau kios, untuk apa lagi selain membeli rokok. Waktu itu aku membeli Sampoerna Mild 16. Sambil menunggu, aku duduk di teras rumah sambil membuka bungkus rokok dan menghisapnya. Hanya satu batang, ya, satu batang.

Tak lama, datang seorang bapak-bapak dengan membawa 3 kresek merah yang isinya nasi bungkusan. Akupun tahu kalau itu nasi pesanan kami. Pengennya kami langsung bergegas membawanya ke tempat pelaksanaan, namun karena adzan maghrib sudah berkumandang, kami memutuskan untuk maghriban dulu disana.

Selepas sholat, Novan menstarter motor, aku mengambil satu kresek dan kutaruh di depan di atas tangki, sementara aku duduk dibelakang, dua kresek besar aku pangku. Berat dan campur panas tentunya, tapi bagaimana lagi.

Kamipun langsung memacu motor agar sampai di Prigen tepat waktu. Ujian datang saat kami hampir memasuki daerah Lumpur Lapindo di Porong. Tiba-tiba cuaca menjadi mendung dan gerimispun turun. Kami panik karena tak membawa jas hujan. Khawatir juga kalau nasi itu kena hujan dan akan berantakan pastinya. Semakin lama dan semakin mendekati daerah lumpur panas tersebut, hujan makin deras dan suasana jalan semakin macet. Kendaraan besar hampir tak bisa berpindah tempat, sementara motor hanya bisa merayap dengan mengambil lajur jalan kiri yang sangat licin karena basah oleh air bercampur dengan lumpur. Banyak juga lubang di sepanjang jalan. Beberapa kali motor yang kami kendarai mesinnya mati. Aku tanya Novan karena stang dan koplingnya sangat licin, ditambah dengan rem belakang yang kurang pakem. Selain itu kaki yang terjerembab di dalam lumpur semakin membuat licin. Beberapa kali kami hampir jatuh karena tak kuasa menahan beban yang dibawa. Sekitar 180an nasi bungkus.

Aku menengok jam di hape, kepalaku mendadak pusing. Rasa cemas dan khawatir serta perasaan campur aduk menjadi satu. Apalagi panitia yang di Prigen sudah berulang kali menghubungi kami. Allooohhhh,,,,

Disaat susana yang carut-marut itu, motor lagi-lagi mati. Novan mencoba berulang kali menyalakannya namun tak mau juga hidup mesinnya. Satu lagi penyebab runyam suasana, kresek yang didepan tiba-tiba jatuh. Aku turun dari motor untuk mengambilnya dan menaruhnya lagi. Kulihat wajah Novan mendadak pucat dan berkeringat. Aku tahu kalau dia sangat khawatir. Tiba-tiba dia bilang “wesss,,,aku menyerah, Sal..”. Aku benar-benar shock mendengarnya. “Van,,nek kita menyerah disini, bagaimana teman-teman yang menunggu kita disana?? Apa tak kasihan??”, kataku kepadanya.

Setelah sejenak menenangkan pikiran, Novan mencoba lagi menyalakan mesin dan alhamdulillah mau hidup. Kamipun melanjutkan perjalanan. Cobaan belum berhenti di situ, melihat di depan lumayan sepi, Novan memacu lebih kencang motornya. Karena situasi cukup gelap, pandangan pun terhalang. Tiba-tiba aku berteriak, karena lutut kiriku menghantam tiang telepon, dan sekali lagi kamipun hampir jatuh. Kami berhenti lagi sejenak, dan spontan terbersit dalam benakku, “Dari tadi banyak sekali cobaan, apa ini karena Alloh menguji kesabaran kami, atau malah ini sebagai teguranNya kepada kami. Kalau memang nantinya kami bisa selamat sampai tujuan, aku bernazar akan berhenti merokok selama kuliyah ini sampai aku lulus nanti. Dan rokok yang aku bawa ini adalah rokok terakhir”.

Singkatnya, kamipun sampai di tempat tujuan meskipun sangat telat. Dengan kondisi tubuh basah kuyub dan kotor penuh lumpur, teman-teman sepertinya iba. Banyak kalimat yang mereka sampaikan untuk menghibur dan menyemangatkan kami, khususnya aku karena datang-datang terlihat seperti pincang.

Saat itu aku hanya bisa bilang, “Aku pribadi mohon maaf yang sangat atas keterlambatan ini. Dan aku mohon maaf sekali selama ini tak bisa memberikan kontribusi dan keaktifan seperti teman-teman yang lain.”, ucapku dengan suara yang berat dan hujan hampir turun di sudut mata.

Karena aku sudah bernazar, maka aku benar-benar harus berhenti merokok bagaimanapun keadaannya. Hari demi hari ke depan aku merasa sangat berat ketika harus tak merokok ketika suasananya mengharuskan untuk merokok. Tapi sekali lagi, nazar ini adalah janji dengan Allah yang aku tak boleh melanggarnya. Lama-kelamaan aku sudah terbiasa untuk tidak memegang racikan tembakau tersebut. Dan aku benar-benar bisa putus lagi dengan rokok.

***

Tanggal 26 maret 2011 aku diwisuda. Sorenya aku langsung merokok. Dan sampai sekarang aku masih menjadi perokok aktif. Namun ada beberapa pantangan yang aku usahakan untuk aku lakukan, antara lain tak akan merokok di hadapan orang tua, istri dan anak-anakku kelak.

Selain itu, aku juga sudah mulai mengurangi mengkonsumsi rokok, dan hasilnya sudah nampak dengan fakta penurunan jumlah rokok yang aku hisap tiap harinya. Seperti sekarang ini saat aku merampungkan tulisan ini, rasanya pengen sekali sambil merokok, namun aku bisa mencegahnya.

Semoga aku bisa benar-benar bisa berhenti merokok.


Surabaya, Malam Senin 10 Juni 2012

0 komentar:

Posting Komentar

monggo komentarnya