Senin, 21 Juli 2014

Surabaya, 2006-2014

Bismillahirrohmaanirrahiim,,, Dengan menyebut namaMu Ya Rabb,,,
Hamdan laka ‘ala kulli ni’mah.
Akhirnya, saya sampai di sebuah penghujung. Sepertinya ini tulisan terakhirku di Surabaya. Karena apa, malam ini malam terakhir di kota berlambang hiu dan buaya ini. Setelah kurang lebih 8 tahun aku menjadi anak rantau guna menuntut ilmu. Ya, sejak lulus Madrasah Aliyah 2006 silam, aku berpindah ke kota pahlawan.
***
Masih teringat betul, ketika hendak lulusan dari Madrasah Aliyah dulu beberapa teman sudah memiliki tujuan kemana akan melanjutkan studinya. Ada yang berharap bisa belajar di negri Firaun, Mesir. Ada yang di perguruan tinggi dalam negeri. Termasuk aku yang dulu ‘berusaha’ untuk ikut tes masuk ke salah satu kampus tertua di dunia, Al Azhar Kairo. Usaha itu ternyata belum berhasil, dan aku hanya berada di urutan ke-60an dari semua peserta tes di UIN Jogjakarta waktu itu. Sementara yang masuk adalah tak lebih dari 30 peserta. Usut punya usut ternyata memang simbokku yang kurang ridho kalau aku kuliyah di luar negeri.
Kemudian kuputuskan untuk mencari alternatif lain. Kemudian terpilihlah kota Surabaya sebagai tempat dimana aku akan belajar.
Kenapa memilh Surabaya? Tentunya ada beberapa alasan. Diantaranya karena bapakku dan beberapa saudara sering sekali bolak-balik Surabaya untuk urusan ‘kulakan’ pakaian yang nantinya akan dijual lagi di Jayapura, Papua.
Selanjutnya aku tertarik dengan program beasiswa yang ada di IAIN Sunan Ampel, yaitu Tafsir Hadis Program Internasional. Menarik, karena tidak terlalu jauh beda lingkunganyya dengan Madrasah Aliyah dimana aku pernah belajar. Namun karena aku sudah terlambat mendaftar, akhirnya aku putuskan untuk memilih Fakultas Syariah Jurusan Al Ahwal Syahsiyah atau Hukum Perdata Islam. Dimana kuliyah tersebut berkenaan dengan hukum yang mengatur keluarga islam. Aku memilih itu sebagai penantian kiranya tahun ajaran depan bisa mengikuti program beasiswa internasional.
Aku meyakinkan diri untuk tidak memilih kuliyah pendidikan misalnya, yang kata banyak orang itu besar sekali peluang untuk kerja. Aku memilih syariah karena aku merasa bahwa aku masih sangat dangkal sekali mengenai hukum islam dan atau fikih, bukan karena berpikir ntah kelak akan menjadi hakim atau apa. Yang pasti niat belajar.
Alasan lain kenapa aku mantab dengan pilihanku ke kota Surabaya adalah tidak adanya teman lain yang melanjutkan ke kota itu, ini berarti dari satu angkatan temen madrasah aliyah hanya aku yang akan kuliyah di Surabaya. Tidak seperti di Semarang, Jogja atau Jakarta. Aku senang dengan ini,kenapa? Karena di tempat baru ini orang tidak ada yang akan megenali siapa aku sebelumnya. dan saat itu aku sudah menyetting diriku untuk menjadi sedikit pendiam karena selama ini aku terkenaldengan orang yang terlalu banyak omong.
Setelah semuanya mantab, aku menghubungi salah seorang kakak kelasku aliyah yang sudah 2 tahun di Surabaya. Aku kirimkan berkas-berkas untuk kepentingan pendaftaran. Aku mendaftar gelombang ke-2 yang merupakan gelombang terakhir, dan didaftarkan persis hari terakhir.

Hamdalah aku diterima di fakultas dan jurusan sesuai yang aku inginkan. Kemudian aku berpikir nantinya akan tinggal dimana aku. Aku minta untuk dicarikan pondok saja, karena kalau harus tinggal di kos atau kontrakan yang nantinya akan tinggal dengan sedikit orang bahkan sendirian saja aku pasti tidak bisa. Hal itu dikarenakan aku sudah terbiasa sejak kecil selalu hidup dengan banyak teman.
Alasan lain mengapa aku memilih tinggal di pondok karena aku berkomitmen untuk “mondok sambil kuliyah, bukan kuliyah sambil mondok”. Akhirnya ada 3 pilihan pondok yang disodorkan ke aku, anara lain Al Husna, An Nur dan Al jihad.
Ketiganya memiliki keistimewaan masing-masing. Al Husna diasuh oleh seorang profesor dan hanya ada santri laki-laki saja. Sedangkan An Nur merupakan pesantren mahasiswa yang notabene modern, karena sistem pembelajaran yang dengan multimedia. Serta terkenal lebih intensif karena satu kamar hanya dihuni oleh 2 santri saja dengan kebebasan membawa perangkat komputer. Sementara yang ke-3, yakni Al Jihad, awalnya seram juga mendengar namanya. Namun setelah dijelaskan, ternyata kondisinya tidak seseram namanya. Karena pesantren ini menekankan spiritual, terbukti dengan banyaknya kegiatan yang bersifat riyadhoh disana. Dan yang lebih mencengangkan, biaya masuk dan syahriyah bulanan termasuk paling murah dibandingkan yang lain. Akhirnya aku putuskan memilih Al-Jihad.
Malam itu aku diantar oleh bapak saja. Sementara para saudara ikut melepas keberangkatanku. Dan singkat cerita, sampailah aku di kota Surabaya.
Surabaya, dan babak baru, kisah hidupku selanjutnya dimulai. Kuliyah, masuk perdana sosialisasi Oscar (Orspek), banyak wajah-wajah baru dan asing.
Aku tidak akan terlalu banyak menceritakan masa di bangku kuliyahku (mungkin suatu hari nanti saha di tulisan lain), tapi aku akan lebih berbagi kehidupanku di pesantren.
Biaya masuk pesantren mahasiswa yang waktu itu hanya sekitar 450an ribu, itu sudah termasuk syahriyah satu bulan, baju taqwa dan kaos olahraga. Termasuk sangat murah bukan. Murah tetapi setelah aku berkeliling pondok, lingkungannya sungguh bersih. Rupanya Kyai yang mengasuh pesantren itu sangat getol dengan kebersihan.
Satu tahun disana, aku masih menjadi sosok anak pendiam karena banyak rekan-rekan yang tidak tahu aku seperti apa pada awalnya. Sehingga aku masih bisa sepenuhnya mengikuti semua tata tertib dan seluruh kegiatan pondok.
Suatu ketika, ada semacam peringatan Ulang tahun yayasan, dan diadakan lomba speech. Aku pun didaulat menjadi perwakilan dari kamarku. Dari sekian banyak peserta yang tampil, akhirnya aku mendapatkan juara pertama. Dan sejak saat itu aku mulai dikenal, dan kemudian seringkali diikutkan dalam beberapa acara di pondok.
Saat itu, untuk urusan keuangan aku memang masih ‘nodong’ orang tua. Tiap bulan masih menunggu kiriman dari rumah. Tak lebih dari 500 ribu aku dapatkan, itu untuk biaya makan, kuliyah, transportasi, dan sebagainya. Apakah itu cukup atau sisa? Kadang kala itu cukup, kadang pastinya juga kurang, sehingga aku termasuk salah seorang mahasiswa yang dikenaldi kelas sebagai anak yang tidak pernah membeli buku. Bukan karena malas, tapi untuk biaya hidup saja harus pandai-pandai mengatur. Dengan kondisi itu, aku yang selalu ngalahi untuk mengerjakan tugas-tugas kuliyah.
Keadaan semakin membuat aku harus memutar otak untuk masalah biaya hidup. Pasalnya keadaan bapak yang sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan berdagang lagi. Alloh selalu mempunyai rencana yang indah. Disaat bapak harus istirahat, aku dibukakan jalan. Saat itu aku dibebaskan untuk tidak membayar syahriyah pondok, namun aku harus melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk pondok. Yang aku lakukan saat itu adalah menjadi tukang sanyo pondok. Kenapa harus ada tukangnya?? Saat itu sanyo di pondok berjumlah sekitar 15 unit. Dan semuanya dibutuhkan, apabila terjadi kerusakan maka imbasnya banyak sekali terjadi ketidak teraturan. Hal lain yang aku lakukan adalah aku menjadi tukang bersih-bersih kamar mandi dan toilet santri. Meskipun ada beban mengelurakan uang yang terkurangi, namun aku masih butuh tambahan untuk sekedar mengisi perut. Sampai-sampai beberapa lama aku hanya makan sekali dalam sehari. Pagi aku minum air galon kamar, kemudian membeli 2 buah roti. Satu aku makan saat pagi dan satunya aku makan di sepulangnya dari kampus. Lalu kalau di kampus sampai sore, bagaimana? Aku selalu berada di masjid agar terjaga dari pemandangan makanan-makanan dan aromanya. Kalau memang haus aku cukup ke tempat wudhu, membasuh muka sekalian minum air kran itu.
Memang bapak selalu menanyakan apakah aku masih punya simpanan uang atau tidak. Dan aku selalu menjawab masih, sehingga tidak perlu lahi merepotkan. Namun sesekali tiba-tiba bapak bilang untuk mengecek rekening tabungan, yang ternyata tanpa bertanya beliau langsung mentransfer sejumlah uang. Namun uang yang aku terima itu, selalu aku catat pengeluarannya buat apa saja. Agar aku tidak terlalu boros dan uang cepat habis.
Seiring waktu berjalan, kemudian aku mendapatkan kesempatan untuk memberikan les di luar. Lambat laun aku mampu hidup sendiri tanpa sokongan dari orang rumah, namun sayangnya aku bukan orang yang pandai mengatur keuangan, sehingga aku tak mempunyai tabungan. Sadar dengan hal itu, kemudian aku mencoba untuk menyisihkan penghasilan. Hasilnya, sekitar satu tahun terlihat juga hasilnya. Rencana tabungan yang akan aku buat untuk kredit sepeda motor guna melancarkan aktivitasku, kandas setelah aku kecelakaan. Dan saat itu adalah saat dimana aku sedang mengerjakan tugas akhirku, skripsi. Dengan peristiwa itu, selain aku harus beristirahat untuk beberapa lama, aku juga kehilangan semua data yang sudah aku dapat. Sehingga aku harus mengulang lagi dari awal.
Sesembunnya dari kecelakaan tersebut, aku harus kembali beristirahat, karena aku didiagnosa dokter menderita demam berdarah. Selain nampak bahwa kelulusanku pasti mundur, tabungan yang sudah ada untuk bekal membeli motor juga harus kurelakan untuk biaya perawatan. Aku bersyukur masih banyak teman yang peduli.
***
Level mulai naik, aku mendapatkan beberapa tanggung jawab. Hingga yang paling ujung adalah aku harus ikut merawat anak-anak kekasih Rasul.
Di level ini, aku semakin memiliki banyak keluarga dan saudara. Aku belajar begaimana menjadi sosok kakak bahkan bapak yang baik untuk adik dan anaknya. Aku benar-benar merasa memiliki keluarga yang indah disini. Banyak sekali pengalaman, kenangan dan momen-momen berharga bersama mereka.
Dan hingga tiba saat malam ini, dimana besok aku harus benar-benar pulang ke rumah untuk menjalani rencana Tuhan selanjutnya.
Malam ini benar-benar istimewa, benar-benar indah. Ramadhan yang berkah.

Al-Jihad, 23 Ramadhan 1435 H
Surabaya, 21 Juli 2014

*akan ada penambahan dan pengurangan di kemudian hari

0 komentar:

Posting Komentar

monggo komentarnya